Selasa, 17 Juni 2014

Model Dalam Pengelolaan Kelas

Model-model Dalam Pengelolaan Kelas

A. Model-model dalam pengelolan kelas
      Kamus besar bahasa Indonesia model diartikan sebagai pola (contoh,acuan, ragam, dsb) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[1]
      Sedangkan Pengelolaan kelas adalah suatu usaha yang dengan sengaja dilakukan guna mencapai tujuan pengajaran. Kesimpulan sederhananya adalah pengelolaan kelas merupakan kegiatan pengaturan kelas untuk kepentingan pengajaran.[2]
      Apabila antara pendekatan, prinsip,strategi, metode, prosedur dan teknik pengelolaaan kelas sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pengelolaan kelas.
      Jadi, model pengelolaan kelas  pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan kelas yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pengelolaan kelas  merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, prinsip,strategi, metode, prosedur dan teknik pengelolaan kelas.
      Terdapat beberapa model dalam pengelolaan kelas yang dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran, yaitu model humanistic, model democratic, model behavioristic dan konstruktivis.[3]
1.      Model Humanistic
Model humanistik dalam pengelolaan kelas menekankan pada faktor keunikan dan rasa dignity setiap individu pebelajar. Orientasi pendekatannya lebih condong ke student-centered daripada teacher-centered. Pada model ini, intervensi pembelajar sangat dikurangi, bahkan lebih menitikberatkan pada partisipasi aktif pebelajar dalam proses pembelajaran di kelas, sistem supervise, dan pengembangan internal individu pebelajar. Model ini dikembangkan oleh Carl Rogers.[4]
            Menurut Rogers & Freiberg (1994), tujuan dari model humanistic dalam pengelolaan kelas adalah berkembangnya self-descipline (discipline diri) pebelajar. Self-descipline diartikan sebagai pengetahuan dan pemahaman mengenai diri sendiri dan kegiatan-kegiatan yang dibituhkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan diri sebagai seseorang. Tujuan inilah yang harus difasilitasi oleh pembelajar sebagi fasilitator dan bukan manajer kelas. Sebagi fasilitator, pembelajar dituntut dapat memberikan fasilitas yang mampu mengakomodir seluruh potensi berkembang pebelajar, agar pebelajar dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
            Michael Marland (1975) juga mendeskripsikan beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan kelas model humanistic, yang mencakup:
1.        mempedulikan pebelajar (caring for children), pembelajar harus menunjukkan sikap peduli kepada pebelajar,
2.        membuat aturan (setting rules),
3.        memberikan penghargaan (giving legtimate praise),
4.        menggunakan humor (using humor), dan
5.        merancang dan membentuk lingkungan belajar (shaping the learning environment).[5]
2.      Model Demokratik
Model demokratis juga sangat menghargai perbedaan dan hak-hak individual pebelajar, dan bahkan menekankan pada pentingnya kebebasan bersuara. Pada model ini, para pebelajar diberikan hak dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan mengelola kelas mereka. Pendekatan pembelajaran yang diterapkan adalah relatively student-centered. Pada saat yang sama pula, peran pembelajar dalam pengelolaan kelas juga besar. Terkadang para pembelajar diharapkan mampu menunjukkan alasan yang rasional untuk menerima perilaku pebelajar. Model ini diperkenalkan oleh Kounin dan Dreikurs. [6]
            Kounin (1970) menyatakan bahwa pembelajar yang sukses dalam mencegah perilaku yang menyimpang dari para pebelajar adalah lebih penting daripada hanya melakukan tindakan penanganan terhadap perilaku menyimpang pada saat perilaku tersebut terjadi. Dalam peribahasa Indonesia dikenal dengan “Mencegah lebih baik daripada mengobati”.
            Ada 3 (tiga) cara bagi pembelajar yang dapt digunakan untuk mempertahankan dan memelihara focus pebelajar dalam proses pembelajaran, yaitu :
1.   mengembangkan cara-cara yang dapat membuat para pebelajar memiliki sikap tanggung jawab, seperti; pemberian tugas individual, presentasi produk, dan uji kompetensi,
2.   menggunakan kelompok, dan
3.   memformat kelas atau materi pelajaran yang minim dengan kebosanan.
3.      Model Behavioristik
            Model behavioristik pada pengelolaan kelas menekankan pada peran vital pembelajar dan arahan atau instruksi dari pembelajar. Hal ini didasarkan atas keyakinan bahwa perilaku menyimpang merupakan hasil dari kegagalan untuk mempelajari perilaku yang diinginkan. Model ini menganjurkan adanya atau diberlakukannya konskwensi-konsekwensi perilaku dalam usaha meminimalisasi masalah di kelas, disamping menggunakan perilaku-perilaku tersebut untuk mengoreksi jika perilaku menyimpang tersebut diulang atau terjadi kembali. Model ini berasal dari teori operant conditioning Skinner, dan model assertive dari Canter.[7]
            Titik tekan model behavioristik adalah pada modifikasi perilaku yang dianggap sebagai aspek korrektif. Dengan demikian, jika ada perilaku menyimpang, maka perlu dilakukan koreksi dengan tujuan untuk meminimalisasi atau mengubah perilaku tersebut. [8]
            Model behavioristik dalam pengelolaan kelas dijalankan secara kaku dan berstandar, jika ada pebelajar melakukan kesalahan seperti; berbicara keras, atau lari-lari, maka mereka akan segera bertindak dengan hukuman melalui pengurangan point-point yang didapatkan sebelumnya. Dalam model ini, penggunaan reinforcement (penguatan) juga telah diberikan, dengan tujuan untuk meminimalisir dan mengontrol perilaku menyimpang para pebelajar.[9]
Prinsip – prinsip model behavioristik yang diterapkan dalam praktek pembelajaran menurut Hartley & Davies (1978 )
1.      Proses belajar dapat terjadi dengan baik bila pebelajar ikut terlibat aktif.
2.      Materi pelajaran disusun dalam urutan yang logis supaya pebelajar mudah mempelajari dan dapat memberi respon tertentu
3.      Tiap-tiap respon harus diberi umpan balik secara langsung
4.      Setiap kali pebelajar memberikan respon yang benar perlu diberi penguatan.[10]
                        Ciri –ciri model behavioristik ini adalah memandang pola- pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan dengan stimulus-stimulus dalam lingkungan belajar.[11]
4.      Model Kontruktivis
            Model ini merupakan terjemahan dari konsep DePorter (2000) yaitu ‘mengorkestrasi  lingkungan yang mendukung’. Sebagai pancaran dari aliran konstruktivis, tentunya model ini lebih berpihak pada pendekatan pembelajaran student-centered seperti pada model humanistic dan model demokratik.[12]
            Ciri model ini beraggapan bahwa pengetahuan adalah hasil kontruksi manusia. Manusia mengkontrukruksi pengatahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkunagan mereka.[13]
            Senada dengan Dick, Degeng (2000) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasiskan konstruktivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.        Pengetahuan adalah non-objektif, temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
2.        Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman kongkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi.
3.        Mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan.
4.        Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, obyek atau prespektif yang ada dalam dunia nyata sehingga muncul makna yang unik dan individualistik.
5.        Si pembelajar bisa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari.
6.      Segala sesuatu bersifat temporer, berubah, dan tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas.
7.      Ketidakteraturan.
8.      Si pebelajar dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas.
9.      Kebebasan merupakan unsur yang sangat esensial.
10.  Kontrol belajar dipegang oleh si Pebelajar.
11.  Tujuan pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata.
12.  Penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan ke bagian (deduktif).
13.    Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si Pebelajar.
14.  Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulative dengan penekanan pada keterampilan berfikir kritis.
15.  Pembelajaran menekankan pada proses.
16.  Evaluasi.[14]
          Berkaitan dengan pengelolaan kelas, pembelajar yang konstruktivistik akan mengedepankan keragaman melalui penataan lingkungan belajar yang bebas. (Degeng, 2000). Secara lebih rinci DePorter (2000) menjelaskan tata pengelolaan lingkungan belajar (pengelolaan kelas). Menurutnya prinsip utama yang perlu dilakukan pembelajar dalam mengelola lingkungan belajar adalah pandangan sekeliling, dan kaitan mata-otak. Pengelolaan kelas yang baik adalah yang melibatkan barbagai modalitas belajar, yaitu visual, auditorial, dan kinestetik.
          Dengan demikian, jelas bahwa lingkungan belajar mempengaruhi kemampuan pebelajar untuk berfokus dan menyerap informasi. [15]





[1] Kamus besar bahasa Indonesia,(2005) hal 751
[2] Syaiful Bahri Djamarah, dkk, Strategi Belajar Mengajar I, Jakarta :Rineka Cipta, 2002, hal 198
[3] Imam azhar, M.pd, Pengelolaan kelas dari teori ke praktek,Yogyakarta:Insyira, 2013,hal 93
[4] Ibid, hal 93
[5] Imam azhar, M.pd, Pengelolaan kelas dari teori ke praktek,Yogyakarta:Insyira, 2013,hal 95
[6] Ibid hal, 96
[7] Ibid,hal 98
[8] Ibid,hal 99
[9] Ibid, hal 99
[10] Imam Azhar, perencanaan sistem desain pembelajaran.STRAIDRA Kranji Paciran Lamongan,2012. Hal 5
[11] Ibid hal 9
[12] Imam azhar, M.pd, Pengelolaan kelas dari teori ke praktek,Yogyakarta:Insyira, 2013,hal 100
[13] Opcit ,hal 21
[14] Ibid,hal 102
[15] Ibid,hal 105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar